KLU, DS-Perkawinan siri yang sering kali dilakuka masyarakat ternyata berdampak buruk terhadap yang bersangkutan. Beberapa di antaranya yakni tidak memiliki dokumen pencatatan sipil yang resmi, tidak memiliki identitas hukum yang jelas, sulit mengakses kesejahteraan dan layanan publik, dan rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi.
Hal itu dikemukakan H. Rubain (kepala Dinas Dukcapil Lombok Utara) pada penguatan kapasitas tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk pencegahan perkawinan anak dan perkawinan siri, 5 Desember 2024.
Dalam kegiatan serangkaian program Berani II itu ia menjelaskan bahwa perkawinan siri adalah perkawinan yang tidak dicatatkan secara resmi oleh pemerintah. Menurut BPS, 1 dari 5 perkawinan di Indonesia tidak dicatatkan secara resmi.
Rubain di hadapan toga dan toma mengatakan dokumen pencatatan sipil yang penting meliputi Akte kelahiran, akte perkawinan, kartu keluarga, dan KTP. “Dampak tidak memiliki dokumen pencatatan sipil yang resmi yakni sulit mengakses pendidikan dan kesehatan dan sulit mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang stabil,” terangnya.
Sedangkan identitas hukum anak yang penting meliputi nama yang resmi, tanggal lahir yang resmi dan status perkawinan yang resmi. Dampak tidak memiliki identitas hukum yang jelas yakni sulit mengakses hak-hak sipil dan politik serta sulit mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
Sementara itu akses kesejahteraan yang penting, lanjut Rubain, meliputi pendidikan dan pelatihan, kesehatan dan pengobatan, perlindungan hukum dan keamanan, serta dukungan psikologis dan sosial.
“Dampak tidak memiliki akses kesejahteraan yang memadai akan sulit mengatasi trauma dan stress dan sulit mengembangkan kemampuan dan potensi,” ujarnya.
Dalam kegiatan itu dihasilkan rekomendasi meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang bahaya perkawinan sirri serta membuat kebijakan dan program yang efektif untuk mencegah perkawinan siri anak dan melindungi korban perkawinan anak.
Perkawinan Anak
Luh Gede Laksmiwati, SKM. MAP., dari Dinas Kesehatan KLU, dalam kesempatan yang sama mengemukakan dampak kesehatan perkawinan anak seperti kehamilan dan persalinan yang tidak seimbang. Menurut WHO, 15% dari kematian ibu di dunia disebabkan oleh kehamilan dan persalinan yang tidak seimbang. Terdapat pula resiko penularan penyakit menular seksual (PMS). Menurut UNAIDS, kat dia, satu dari lima anak perempuan yang menikah sebelum umur 18 tahun memiliki risiko penularan HIV/AIDS yang lebih tinggi.
Pun resiko kekerasan dalam rumah tangga yang menurut UNICEF, 1 dari 3 anak perempuan yang menikah sebelum umur 18 tahun memiliki risiko kekerasan dalam rumah tangga yang lebih tinggi. Dampak lain, kata Luh Gede Laksmiwati, berupa resiko kematian ibu dan bayi yang lebih tinggi. ian