Mataram, DS-Perkawinan anak melalui jalur nikah siri sangat dominan terjadi di 15 desa intervensi yang menjadi sasaran Program Berani II. Jumlah nikah siri mencapai 148 dari 197 kasus atau sekitar 75,13% dari total kejadian selama kurun waktu 2023 hingga Agustus 2025.
”Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun upaya pencegahan berhasil menekan angka perkawinan anak yang tercatat secara formal (dispensasi), praktik perkawinan tidak tercatat masih menjadi tantangan besar di tingkat komunitas,” jelas Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB, Sukran Hasan, Selasa (7/10).
Hasil triangulasi data dengan studi UNICEF–LPA NTB (2024) menunjukkan bahwa nikah siri menjadi jalur dominan dalam praktik perkawinan anak di NTB seiring diperketatnya regulasi dispensasi nikah.
Faktor pendorong utama, kata Sukran, persepsi agama dan sosial bahwa menikah adalah solusi “menjaga kehormatan” anak perempuan. Selain itu, kompleksitas birokrasi dan biaya dispensasi yang dianggap berat oleh masyarakat. Tekanan sosial akibat kehamilan pranikah dan norma adat mengenai aib keluarga, pun jadi penyebabnya.
”Nikah siri dianggap sah secara agama, tetapi menimbulkan dampak sosial–hukum yang serius: anak kehilangan akses terhadap dokumen hukum (akta nikah dan akta kelahiran), sulit mengakses layanan sosial, serta rentan terhadap perceraian tidak tercatat,” terangnya.
Kecenderungan dan Pola Dinamika Sosial
Berdasarkan temuan lapangan dan pola kasus di 15 desa, Sukran menguraikan penyebab struktural (ekonomi, pendidikan, dan layanan) tetap menjadi akar dominan perkawinan anak. Penyebab kultural dan keagamaan memperkuat legitimasi sosial terhadap praktik nikah dini.
Lanjut dia, migrasi ekonomi orang tua menciptakan pengasuhan longgar dan ketidakstabilan kontrol terhadap perilaku remaja. Sementara itu, pencegahan formal (melalui KUA, DP3AP2KB, dan pengadilan agama) belum sepenuhnya menjangkau ranah informal, sehingga praktik nikah siri tetap tinggi. Di sisi lain, tekanan sosial dan moralitas membuat banyak keluarga memilih “jalur aman” berupa pernikahan dini daripada risiko stigma atau kriminalisasi.
Ketua LPA NTB ini memberikan jalan keluar dalam mengatasi kasus nikah siri, yakni melalui penguatan Pengasuhan Keluarga dan Komunitas seperti mengembangkan model parenting support group di desa, khusus bagi keluarga PMI atau orang tua migran, guna memperkuat fungsi pengawasan dan komunikasi keluarga; Peningkatan Literasi Hukum dan Edukasi Publik seperti menyelenggarakan kampanye terpadu mengenai risiko hukum dan sosial dari perkawinan siri serta pentingnya pencatatan perkawinan[ Integrasi Layanan Perlindungan Anak di Tingkat Desa seperti meningkatkan koordinasi antara KUA, TPK, Forum Anak, PATBM, dan UPTD PPA untuk mendeteksi dini calon pengantin anak dan memberikan pendampingan pra-nikah berbasis hak anak.
Selain itu Edukasi Remaja dan Literasi Digital dengan memperkuat pendidikan literasi digital dan seksualitas sehat di sekolah serta komunitas untuk mengurangi pengaruh media sosial yang negatif terhadap perilaku remaja, dan ; Kolaborasi Tokoh Agama dan Adat dengan menggandeng pemuka agama dan tokoh adat dalam gerakan moral kolektif untuk menolak menghadiri atau memberkati perkawinan anak, serta menegaskan kesetaraan pandangan antara hukum agama dan hukum negara.
Menurutnya, Program BERANI II telah menunjukkan dampak positif signifikan dengan penurunan kasus perkawinan anak sebesar ±74,3% dalam dua tahun terakhir. Namun, tingginya proporsi perkawinan siri (±75,13%) menandakan bahwa fenomena perkawinan anak masih berlangsung secara tersembunyi dalam bentuk tidak tercatat. ian