Selong, DS- Sekar dan Saminah adalah dua lansia warga Dusun Telok Dalem, Desa Sekaroh, Kecamatan Jerowaru Lombok Timur (Lotim). Pasangan ini puluhan tahun tinggal di gubuk reyot yang sangat memprihatinkan. Meski jauh dari kata layak, dua lansia yang merupakan ibu dan anak itu tetap memilih tinggal di gubuk reot yang dihantui bayang-bayang rumah ambruk tertiup angin.
Rumah Sekar dan Saminah, berada di ujung jalan hotmix menuju destinasi Pantai Telone, Desa Sekaroh, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur (Lotim). Keduanya, hidup di gubuk reot yang nyaris tak lagi kokoh berdiri. Dindingnya terbuat dari bedek yang sudah lapuk dimakan rayap, membuat angin pantai selatan bebas keluar masuk. Pun dengan atapnya, sudah bolong hingga air hujan kerap mengguyur sampai ke dalam rumahnya.
Lantainya beralaskan tanah. Di dalam rumah hanya ada kasur, lemari kecil yang sudah tidak bisa tertutup rapat dan beberapa kain lusuh yang menggantung di setiap sudut rumah.
Di rumah inilah Saminah (65 tahun) , tinggal bersama ibunya yang menurut warga usianya sudah lebih dari 120 tahun. Terdapat jugadlsl cucunya bernama Azmi (14 tahun).
Rumahnya yang berukuran 2×3 itu hanya memiliki satu kamar. Tak ada dapur, apalagi kamar mandi. Tak ada barang mewah di tempat itu, kecuali kompor gas yang sudah mulai karatan dan satu bola lampu.
“Sudah puluhan tahun lebih kami tinggal di sini. Kami bertiga tinggal di sini (rumah reot). Mau tidak mau harus ditempati, karena tidak ada lagi rumah yang bisa kami tempati,” tutur Saminah, Sabtu (20/09/2025).
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari , ia hanya menjadi buruh lepas, mulai dari buruh panen tembakau, jagung, padi dan lainnya. Dengan upah berkisar antara Rp 20-30 ribu per hari.
Tidak jarang cucunya juga ikut membantu bekerja sebagai buruh sepulang sekolah untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hasil bekerja untuk memenuhi kebutuhan dapur sehari-hari, bahkan kurang.
“Cukup untuk makan saja, kadang juga kurang. Saya juga beternak kambing. Tapi hanya ambil upah karena kambingnya milik orang bukan milik saya, kita bagi hasil,” katanya.
Untuk kebutuhan air bersih sehari-hari, ia biasa mengambil di sumur gali milik warga yang jaraknya lumayan jauh dari rumahnya. Pun untuk mencuci dan mandi. Tak jarang mereka juga harus membeli air ketika musim kemarau tiba.
Selain digunakan sebagai tempat tidur dan dapur. Rumah yang tinggal menunggu waktu untuk roboh itu, juga digunakan sebagai tempat mandi oleh Sekar. Karena kondisinya yang sudah tidak bisa berjalan, sehingga tidak memungkinkannya pergi ke sumber mata air.
“Kalau ibu (Sekar) saya mandikan di sini, karena dia tidak bisa berjalan. Dan tidak kuat untuk digendong, karena saya juga sudah tua. Mau tidak mau kita mandikan di dalam rumah,” jelasnya.
Kata dia, masa-masa paling sakit ialah ketika cuaca buruk terjadi. Jika hujan, mereka akan mencari lokasi yang sedikit aman di sudut rumah. Kemudian nenek Sekar ditutup menggunakan selimut dan terpal agar tidak basah oleh air hujan.
Bahkan tidak jarang mereka harus mengungsi di gazebo milik tetangganya, jika terjadi hujan disertai angin kencang. Karena dikhawatirkan rumah reot yang mereka tempati roboh tiba-tiba dan menimpa mereka.
“Kalau hujan saya tutup dia (Sekar) menggunakan selimut, kemudian saya taruh di pojok agar tidak terkena hujan. Kemudian saya di pojok sebelah kanan duduk pakai selimut terpal bersama cucu saya,” bebernya.
Diceritakan, ia tinggal bersama ibunya sudah puluhan tahun, bahkan keluarganya merupakan orang pertama yang tinggal di Desa Sekaroh. Kendati sudah lama hidup miskin dan tinggal di rumah reot, tidak ada bantuan apapun yang pernah didapatkan dari pemerintah. Bahkan hanya sekedar BPJS Kesehatan dan administrasi kependudukan.
“Tidak punya kartu berobat (BPJS). Kalau KTP Alhamdulillah sudah dibuatkan sama petugas dari Selong (Dukcapil) tadi. Dia datang langsung ke sini,” bebernya.li