Mataram, DS-Lembaga Perlindungan Anak NTB mengurai pola dan kecenderungan penyebab utama kasus perkawinan anak di 15 desa intervensi Program Berani II. ”Hasil analisis menyebutkan penyebab perkawinan anak bersifat multidimensional, meliputi faktor pengasuhan, ekonomi, pendidikan, akses edukasi dan literasi hukum, serta pengaruh media sosial,” kata Ketua LPA NTB, Sukran Hasan, Selasa (7/10).
Sebanyak 15 desa intervensi Program BERANI II yang dilaksanakan oleh LPA NTB bekerja sama dengan UNICEF–Canada meliputi Kabupaten Lombok Timur: Desa Aik Dewa dan Desa Jurit m(Kecamatan Pringgasela), Desa Lendang Nangka, Desa Lendang Nangka Utara, dan Desa Paok Motong (Kecamatan Masbagik), Kabupaten Lombok Tengah: Desa Aik Bukak, Desa Tanak Beak (Kecamatan Batukliang Utara), Desa Selebung (Kecamatan Batukliang), Desa Teruwai, dan Desa Bangket parak (Kecamatan Pujut), Kabupaten Lombok Utara: Desa Bayan dan Desa Senaru (Kecamatan Bayan), Desa Jenggala, Desa Sokong dan Desa Sigar Penjalin (Kecamatan Tanjung).
Sukran Hasan menyebutkan secara keseluruhan, sejak tahun 2023 hingga Agustus 2025, tercatat sebanyak 197 kasus perkawinan anak di 15 desa intervensi, terdiri dari 109 kasus (2023), 60 kasus (2024), dan 28 kasus (per Agustus 2025).
“Angka ini menunjukkan penurunan signifikan sebesar ±74,3% dalam kurun waktu dua tahun, seiring dengan penguatan intervensi lintas sektor melalui program BERANI II,” ujarnya.
Sedangkan penyebab kasus berdasarkan laporan kader desa, Forum Anak, dan hasil FGD lapangan, meliputi : Pola Asuh Lemah dan Dinamika Keluarga; Faktor Ekonomi dan Kemiskinan Rumah Tangga; Faktor Pendidikan atau Putus Sekolah; Faktor Rendahnya Akses Edukasi, Literasi Hukum, dan Layanan Perlindungan Anak; dan Faktor Pengaruh Media Sosial dan Pergaulan Remaja.
Sukran merinci sekira 33% kasus berakar pada lemahnya pengasuhan anak akibat migrasi ekonomi orang tua (PMI atau pekerja luar daerah). ”Anak sering diasuh oleh nenek/kerabat dengan kontrol sosial rendah sehingga rentan terhadap pengaruh lingkungan dan keputusan menikah muda,” jelasnya.
Dalam Faktor Ekonomi dan Kemiskinan Rumah Tangga, sekitar 27% kasus terjadi pada keluarga miskin atau rentan ekonomi, di mana perkawinan dianggap sebagai strategi mengurangi beban ekonomi keluarga. Nikah siri sering dipilih karena murah, cepat dan tidak membutuhkan syarat administrasi.
Pada Faktor Pendidikan dan Putus Sekolah, sekira 19% kasus melibatkan anak yang berhenti sekolah di jenjang SMP/MTs. Kurangnya aktivitas produktif dan lemahnya motivasi pendidikan mendorong anak memasuki pernikahan dini, terutama bagi perempuan yang tidak melanjutkan sekolah.
Pada Faktor Rendahnya Akses Edukasi, Literasi Hukum, dan Layanan Perlindungan Anak, sekira 13% kasus disebabkan oleh rendahnya pemahaman masyarakat tentang risiko hukum dan sosial perkawinan anak. Sulit mengakses mekanisme dispensasi dan lebih memilih nikah siri. Sehingga banyak keluarga yang tidak memiliki KK (Kartu Keluarga) dan akta kelahiran anak mereka berstatus anak ibu.
Sedangkan pada Faktor Pengaruh Media Sosial dan Pergaulan Remaja, lanjut Sukran, sekira 8% kasus diawali oleh relasi daring tanpa pengawasan, yang berkembang menjadi hubungan seksual pranikah atau kehamilan tidak diinginkan, kemudian berujung pada pernikahan siri atau darurat. ian