Dahulu mereka bermain riang namun tidak lupa pulang. Kini, ada di antaranya yang menghilang. Mereka tidak lagi bercanda tetapi condong main-main dengan masa depan, kehilangan wajah ceria ketika terjerembab dalam kubangan perkawinan yang belum pada masanya.
Pada sebuah desa di Kecamatan Sakra Barat, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, sepasang kekasih mengalami problem berat berkenaan dengan masa depannya. Mereka, sebut saja San dan Sun — masing-masing berusia 14 tahun — terjebak dilema apakah akan dikawinkan atau tidak.
Hal itu bermula ketika suatu hari keduanya pulang malam sekira jam 22.00 wita setelah ke luar rumah untuk bermalam mingguan. Saat tiba kembali di rumah si perempuan (Sun), orangtua perempuan marah. Mereka tidak mau terima Sun dibawa pulang di luar batas waktu toleransi tersebut. Dangan alasan aib, orangtua si gadis memaksa San segera menikahi Sun.
Satu opsi jika mereka tidak menikah, orang tua Sun mengancam membunuh anaknya walaupun si anak mengaku tidak pernah melakukan hubungan suami istri. Sementara itu, keluarga San yang diberi kabar tentang peristiwa itu, masih berfikir rasional dengan melihat faktor usia anaknya.
Kejadian di tahun 2024 itu menjadi perhatian banyak pihak seperti LPA Lombok Timur dan instansi terkait yang kemudian melakukan penjangkauan. Dengan berbagi argumen hukum maupun dampak yang ditimbulkan, Ibu Sun yang bersikukuh anaknya harus dikawinkan, akhirnya melunak. Ancaman terjadinya pernikahan dini pun berhasil digagalkan.
Hal serupa terjadi di Lombok Utara. Sun dilarikan San, teman sekelasnya, dari desa yang berbeda tanpa sepengetahuan orangtuanya.
Setiba di kampung halaman San, Sun menelepon orangtuanya dan mengabarkan akan menikah dengan San. Spontan sang ayah murka. Bersama aktifis LPA Lombok Utara, sang ayah menjemput Sun. Sun kemudian ditampung di LPA setempat dan diberi banyak nasihat. Lagi, rencana merariq kodek gagal.
Sayangnya, dua peristiwa itu adalah yang diketahui dan diintervensi. Masih banyak kasus nikah dini berada dalam ruang remang bagaikan lintasan peristiwa yang berlalu dalam pembiaran dan tiada dampaknya.
Data Lembaga Perlindungan Anak menyebutkan, di Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, pada tahun 2023 ditemukan 14 kasus perkawinan anak. Di Desa Tanak Beak, Kabupaten Lombok Tengah ditemukan 15 kasus dan Desa Selebung 49 kasus pada tahun yang sama. Sedangkan di Desa Lendang Nangka sebanyak 25 kasus tahun 2023 dan Januari- Juli 2024 terdapat 15 kasus serupa.
Fakta ini linier mengikuti alur sebelumnya yang menempatkan posisi NTB pada ranking tinggi perkawinan anak. Pada tahun 2019 pernikahan anak di NTB 16,09%, atau sebanyak 16% perempuan yang menikah di NTB melakukan pernikahan pertama sebelum usia 18 tahun. Data statistik ini telah menempatkan Provinsi NTB masuk dalam 5 besar tertinggi di Indonesia selama tahun 2019.
Namun, fakta-fakta perkawinan anak semakin mengkhawatirkan karena pada tahun 2022 merangkak mencapai sebesar 16,23 persen, kemudian naik menjadi 17,32 tahun 2023 atau jauh di atas rata-rata nasional yang mencapai 6,92 persen. Data ini sekaligus menempatkan NTB peringkat pertama dari seluruh daerah di Indonesia.
Tiga kabupaten, yaitu Lombok Utara, Lombok Timur dan Lombok Tengah merupakan daerah surplus kasus perkawinan anak. Proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin atau berstatus hidup bersama sebelum umur 18 tahun di NTB untuk Kabupaten Lombok Utara 16,77% Lombok Timur 21,09%, dan Lombok Tengah 29,06% (BPS NTB, 2022).
Data lain di KLU menyebutkan jumlah remaja hamil tahun 2023 mencapai 272 orang remaja. Mereka memeriksakan kehamilan di Puskesmas Bayan, Senaru, Gangga, Kayangan, Tanjung dan Pemenang. Hingga Juni 2024 ditemukan 99 kasus serupa.
“Ini data yang tidak perlu ditutupi namun perlu melihat konteks apa yang kurang kita lakukan,” kata Sekretaris DP2KB PMD KLU, Hj.Yuni Kurniati, seraya menambahkan bahwa 50 persen kasus perkawinan anak di perkotaan akibat kehamilan.
Ketika secara nasional trend perkawinan anak menurun dan sebaliknya di NTB merangkak naik maka kondisi ini adalah sebuah anomali, darurat merariq kodek. Sebuah ironi karena NTB telah memasuki sekira 3 tahun pasca penetapan Perda NTB Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak yang tentu saja selama itu regulasi tersebut tidak berjalan.

Beberapa faktor yang berhubungan dengan perkawinan anak meliputi faktor ekonomi, pendidikan yang rendah, lingkungan, pergaulan bebas (kehamilan) dan sanksi adat. Pada faktor ekonomi orangtua mendorong anaknya segera menikah agar terlepas dari tanggung jawab. Pada faktor pendidikan anak-anak tidak memiliki keputusan masa depan dan cenderung berfikir sesaat. Pergaulan bebas menimbulkan munculnya kehamilan. Sedangkan sanksi adat karena suatu pelanggaran yang dianggap sebagai aib yang mendorong anak segera dinikahkan.
Masalah sanksi adat menjadi menarik karena banyak rencana perkawinan anak diketahui sebagian besar melalui jalur ini. Apakah adat perkawinan Sasak di Lombok cenderung mendorong terjadinya kasus perkawinan anak? Apakah kasus-kasus itu menciptakan terjadinya generasi yang hilang?
Sanksi Adat
Masyarakat suku bangsa Sasak mengenal istilah merariq/memulang atau selarian. Dalam norma ini, seseorang yang akan dinikahi dilarikan terlebih dahulu oleh pihak pria dan dibawa ke rumah keluarganya.
Pada sisi lain terdapat norma adat yang berlaku di beberapa desa, jika sepasang kekasih ke luar malam dan pulang di atas pk.22.00 maka akan menerima sanksi adat dikawinkan. Sanksi itu berkenaan dengan asumsi yang menimbulkan aib bagi keluarga.
Hal inilah yang sering terjadi/disalahgunakan. Padahal, dalam menuju jenjang perkawinan, norma adat Sasak mengatur pula kesiapan kedua belah pihak. Misalnya perempuan diwajibkan sudah bisa menenun dan si pria bisa beternak puluhan ekor sapi.
Kendati tidak menggunakan patokan usia, tokoh adat Sasak, Lalu Ikhsan, menegaskan syarat itu menunjukkan bahwa secara keseluruhan calon pasangan suami istri memiliki tingkat kematangan mental dan kemapanan materi ketika memasuki mahligai rumah tangga.
Ketika anak anak melakukan langkah tersebut dengan mengabaikan norma pendukung lain, hal ini sering kali ditafsirkan sudah terjadi proses perkawinan. Apalagi pihak keluarga perempuan biasanya menganggap jika anaknya sudah dibawa lari sehari semalam maka sudah merupakan aib keluarga sehingga harus dikawinkan.
Tanpa harus merujuk pada faktor tersebut, sepasang kekasih yang pulang di atas pk. 22.00 saja sudah dianggap telah membawa aib bagi keluarga, apalagi jika seharian penuh atau bahkan hingga tiga hari. Dengan alasan aib itu pula, pihak keluarga akhirnya turut mendorong perkawinan itu terjadi.
Ketentuan jam pulang malam sepasang kekasih ini di beberapa desa semula bermaksud baik untuk menekan terjadinya pergaulan bebas. Bahkan, pada masa lalu ketika laki laki maupun remaja ke luar rumah di malam hari harus didampingi anggota keluarganya yang lain.
Menurut Kepala Desa Jenggala, Kecamatan Tanjung, Lombok Utara, Fakhruddin, norma adat ini berangsur-angsur dilanggar seiring berjalannya waktu. Anak gadis maupun perjaka mulai ke luar rumah berpasangan tanpa pendamping. Mereka kadang pulang larut malam melebihi batas waktu yang ditentukan dan menjadi bumerang bagi dirinya di mata masyarakat.
Norma adat yang semula bertujuan baik itu pada akhirnya menjelma menjadi ruang remang tempat terjadinya berbagai pelanggaran. Ketika peristiwa itu tidak diintervensi untuk dimediasi pihak lain, ujungnya adalah perkawinan anak. Perkawinan yang dilakukan sebagian besar adalah nikah siri.
Berdasarkan data Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB, perkawinan anak melalui jalur nikah siri (tidak tercatat) di sejumlah dampingan, dari 148 kasus tahun 2022-2024, sebanyak 109 dilakukan melalui jalur nikah siri dan 39 hasil dispensasi. Pendidikan terakhir anak menikah SMA 41 anak, SMP sebanyak 7 anak, SD sebanyak 7 anak.
Sedangkan usia mereka menikah sebanyak 1 anak di usia 13 tahun, 6 anak di usia 14 tahun, 12 anak di usia 15 tahun, 31 anak di usia 16 tahun, 38 anak di usia 17 tahun, dan 31 anak di usia 18 tahun. Proporsi tertinggi dalam kasus pernikahan anak ditempati anak perempuan dengan 120 kasus sedangkan anak laki-laki 28 kasus.
Mengaku Hamil
Melarikan seorang gadis untuk dinikahi menjadi hal yang meniscaya di Lombok. Walau terdapat pula pola lain dalam proses perkawinan seperti ngelamar dan dijodohkan, pola inilah yang sering dimanfaatkan pelaku dan korban perkawinan anak.
Kepala Desa Bayan, Satradi SP, memaparkan di desanya kerap terjadi peristiwa semacam itu. Ia menyontohkan ketika salah seorang anggota keluarganya dilarikan pemuda yang juga pegawai honor di salah satu instansi pemerintah belum lama ini. Setelah si gadis dibawa kabur, mereka kemudian menginformasikan bahwa tujuan dari memulang itu karena hendak menikah.
Pihak keluarga mencoba menghalangi rencana tersebut dengan berbagai alasan pendukung seperti usia si gadis yang belum cukup. Namun, modus yang digunakan sepasang kekasih ini adalah dengan menyatakan bahwa keduanya sudah melakukan hubungan suami istri. Bahkan si perempuan mengaku dalam kondisi hamil.
“Tapi kehamilan itu sampai sekarang tidak terbukti. Dia (perempuan) sampai sekarang setelah menikah belum juga hamil, ” tutur Kades Bayan, Satradi, yang sangat menggebu gebu menolak perkawinan anak.
Pengakuan yang tidak disertai bukti otentik itu kadangkala meloloskan mereka menikah melalui jalur dispensasi. Hal ini menjadi titik lemah terjadinya kasus perkawinan anak.
Menerangi Ruang Remang Pemahaman Adat
Ukuran kedewasaan dan kemapanan materi seseorang sangat diutamakan sebelum melakukan memulang. Bagi laki-laki dari Lombok Utara harus mampu memberi makan (dalam arti luas) kepada anak istri (bau isik ngiok). Selain itu memiliki kegiatan untuk anak istri (bau isik ngayang), punya rumah dan bertanggung jawab melindungi anak dan istri.Sedangkan bagi perempuan bisa memasak dalam arti luas (segala jenis makanan) dan menjaga kehormatan diri dan suami (bau isik nyauk dirik).
Oleh sebab itu, ada proses yang mengawali calon pengantin sebelum memulang untuk mengetahui secara detil kemampuan masing-masing pihak. Sebutlah adanya saling maleang tangenang, yaitu merayu yang bisa dilakukan dengan kata terang-terangan maupun berupa sindiran ketika bertemu perempuan pujaan hatinya. Bila pria datang ke rumah perempuan (midang), bisa juga didampingi pihak keluarga,
Masa perkenalan dan pemilihan jodoh disebut midang atau kunjungan seorang laki-laki kepada seorang perempuan dengan maksud untuk mengadakan perkenalan, pendekatan dan menjalin hubungan lebih serius sekaligus mengetahui secara detail kematangan mental dan kemapanan material yang bersangkutan. Setelah beberapa kali midang dilakukan, barulah si pemuda menanyakan apakah perempuan pujaannya itu bersedia menjadi istrinya.
Sementara ini anak-anak tidak memahami kearifan budayanya secara menyeluruh dan cenderung mengambil bagian-bagian yang dianggap menguntungkan dirinya dalam kasus-kasus tertentu. Karena beberapa proses yang ditiadakan itulah diperlukan adanya revitalisasi sekaligus sosialisasi yang lebih luas adat budaya Sasak khususnya dalam perkawinan.
Kearifan budaya dalam perkawinan adat Sasak jika dijalankan secara benar bukanlah menjadi pemicu terjadinya kasus perkawinan anak. Karena ada beberapa proses yang hilang seperti perkenalan (midang) dalam arti luas, dan hanya diambil secuilnya saja yang akhirnya menimbulkan problem berat dalam perkawinan itu sendiri.
Pemahaman adat Sasak yang setengah hati berimplikasi luas terutama pada kelompok rentan seperti keluarga-keluarga miskin. Fakta-fakta di lingkungan keluarga miskin dalam kasus ini, jika tidak diintervensi akan memuluskan terjadinya kasus yang terus menerus, perkawinan anak yang turun temurun, lingkaran setan dan kemiskinan yang tiada berujung.
“Ada kecederungan orangtua yang menikah di usia anak, anaknya juga menikah di usia anak. Jadi kasus ini turun temurun mewarnai kemiskinan yang terus berlanjut,”kata Sekretaris LPA NTB, Sukran Hasan.
Fakta anak mengendong anak bukanlah isapan jempol. Bahwa mereka kemudian melahirkan kemiskinan baru menjadi kenyataan yang meniscaya ke depan ketika masalah ini tidak dianggap sebagai musuh bersama.
Pencegahan Perkawinan Anak
Di lingkungan masyarakat adat, fakta-fakta perkawinan anak cukup membuat mereka prihatin. Persoalannya, sosialisasi yang minim membuat isu ini sangat elitis dan nyaris tak terjangkau ranah adat. Pemahaman aturan adat, agama dan negara dalam kasus perkawinan, tidak linier dibalik keacuhan pemangku kepentingan terutama di pedesaan. Ketika seorang anak hendak menikah dihalangi aturan nasional, mereka cenderung lari ke ranah adat.
Merangkul para tokoh adat akhirnya menjadi sebuah cara yang tepat. Hal itu dilakukan LPA NTB melalui Program BERANI II – Better Reproductive Health and Rights For All in Indonesia (Kesehatan Reproduksi & Hak-Hak Reproduksi yang lebih baik bagi semua kaum Perempuan di Indonesia) yang bekerjasama dengan Lakpesdam PW NU NTB dan Pemerintahan Kecamatan Bayan dalam sebuah pertemuan, Gundem, yang berlangsung di Bayan, Lombok Utara, Sabtu (21/9). Kegiatan melibatkan seluruh kepala desa di Kecamatan Bayan, pemangku, kyai maupun penghulu.
Pasalnya, aturan adat menjadi salah satu pemicu perkawinan anak yang menjadi model legitimasi di lingkungan masyarakat. Ketika sepasang remaja pulang lebih dari batas waktu pk.22.00 wita, ada kecenderungan di beberapa desa mereka kemudian dinikahkan.
Dalam Gundem itu dihasilkan salah satu kesepakatan bahwa “Awik-awik yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak akan didiskusikan kembali antara kepala desa, perangkat desa, tokoh masyarakat bersama pranata adat. Sanksi adat akan diberlakukan tetapi sanksinya bukan dengan mengawinkan melainkan sanksi lain yang akan disepakati bersama”.
Sanksi adat ini masih berlaku di beberapa desa di Lombok yang nyaris tanpa halangan jika tidak ada intervensi, walau banyak desa yang tidak memberlakukan hal itu lagi. Sebagai salah satu faktor pemicu perkawinan anak, peniadaan saksi tersebut tidaklah mengurangi makna jika keseluruhan adat perkawinan Sasak diberlakukan.
Bahwa calon suami istri mengenali pasangannya dalam midang, diuji kematangan mental dan meterialnya dalam beberapa tahapan merupakan aturan adat Sasak yang tepat. Sebaliknya pembiaran kasus-kasus perkawinan anak terjadi berulang-ulang akan melahirkan generasi yang lemah dikemudian hari, atau bahkan sebagai generasi yang hilang. riyanto rabbah.