Kerentanan anak adalah faktor resiko yang menyebabkan terancamnya kehidupan anak kini dan masa datang. Perkawinan anak menjadi penyebab terbesar kerentanan seperti stunting, penelantaran, dan lain-lain.
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB mengidentifikasi keberadaan anak rentan melalui resiko-resiko yang kemungkinan besar mengancam kehidupan mereka dalam pemenuhan hak-haknya sebagai anak.
Beberapa yang dijadikan indikator kerentaanan adalah anak yang tidak memiliki akta kelahiran, anak putus sekolah, anak tinggal dengan satu orang tua atau tinggal di famili lain, anak gizi buruk atau stunting,dan anak disabilitas.
Anak-anak dengan resiko itu terancam kehidupan dan hak-haknya dimasa mendatang jika tidak menerima perhatian serius. Kenyataannya, jumlah mereka terbanyak berada di desa-desa yang selama ini dianggap sebagai pemandangan biasa.
Kabupaten Lombok Tengah memiliki anak rentan yang tidak kecil jumlahnya.
Berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan oleh perangkat desa, PATBM dan PKK, diperoleh data dengan berbagai jenis kerentanan tersebut.
LPA NTB melakukan pendampingan di lima desa di Kabupaten Lombok Tengah untuk menjangkau anak-anak rentan dalam program Berani II. Desa itu masing-masing Aik Bukak, Tanak Beak, Bangket Parak, Teruwai, dan Selebung. .
Salah satu yang menjadi fokus LPA NTB adalah mencegah munculnya kerentanan melalui aspek hulu yang menjadi sumber penyebab, yakni pencegahan perkawinan anak.
Kepala Dinas Kesehatan NTB, DR.H.Lalu Hamzi Fikri, MM, mengatakan sekira 70 persen kasus stunting disebabkan faktor perkawinan anak. Data kasus perkawinan anak di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2023 tertinggi di NTB mencapai sekira 29 persen.
Potret Kerentanan 5 Desa di Lombok Tengah
Sebanyak 5 desa di Kabupaten Lombok Tengah mendapat pendampingan LPA NTB dalam Program Berani II. Program Kesehatan Reproduksi & Hak-Hak Reproduksi yang Lebih Baik bagi Semua Kaum Perempuan di Indonesia itu melibatkan Kedutaan Canada, UNFPA, UNICEF, UN WOMEN.
Khusus di Lombok, program melalui pendampingan LPA NTB merupakan kolaborasi dengan Unicef berlangsung tahun 2024-2025 fokus pada pecegahan perkawinan anak.
Gambaran di Desa Aik Bukak, Kecamatan Batukliang Utara, menyebutkan terdapat 627 anak perempuan dan 499 laki-laki. Sebanyak 14 orang di desa itu pada tahun 2023 hingga pertengahan 2024, melakukan pernikahan anak.
Menurut Sekretaris LPA NTB, Sukran Hasan, sebagian besar perkawinan anak muncul dari kejadian serupa yang menimpa orang tuanya. Fenomena ini menunjukkan bahwa perkawinan anak terjadi turun temurun, kendati ada faktor lain seperti kemiskinan, lingkungan dan rendahnya pendidikan (pengetahuan).
Di Desa Aik Bukak terdapat juga sebanyak 2 orang anak putus sekolah SD, 25 anak putus sekolah SMP dan 6 anak putus sekolah SMA. Selain itu 52 anak mengalami stunting dan 14 orang disabilitas.
Di Desa Tanak Beak, Kecamatan Batukliang Utara, dari 417 anak laki laki dan 547 perempuan, pada tahun yang sama, terdapat sebanyak 32 kasus perkawinan anak. Terdapat 1 anak putus sekolah SD, 8 putus sekolah SMP dan 8 putus sekolah SMA. Selain itu, anak. yang mengalami stunting sebanyak 98 orang.
Desa Bangket Parak, Kecamatan Pujut, dari 462 anak perempuan dan 546 anak laki laki, sebanyak 14 melakukan perkawinan anak. Terdapat juga putus sekolah SD sebanyak 2 anak, SMP sebanyak 3 anak dan 1 anak putus sekolah SMA. Sedangkan kasus stunting sebanyak 57 anak serta 49 disabilitas.
Desa Teruwai, jumlah anak sebanyak 599 perempuan dan laki laki 517 orang. Terjadi sebanyak 7 kasus perkawinan anak. Terdapat juga putus sekolah SD menimpa 4 anak, SMP 11 anak dan SMA 1 anak putus sekolah.
Jumlah anak stunting mencapai 69 orang. Sedangkan disabilitas menimpa 14 anak
Desa Selebung jumlah anak perempuan mencapai 582 sedangkan laki laki 649 anak.
Anak yang melakukan perkawinan mencapai 49 orang. Terdapat anak putus sekolah SD mencapai 3 orang, SMP 6 orang dan SMA 20 orang. Kasus stunting menimpa 40 anak. Sedangkan disabilitas dialami 12 anak.
Keberadaan anak rentan tidak lepas dari sumber-sumber pemicu seperti masalah kemiskinan dan perkawinan anak.
Kemiskinan membuat para orangtua mencari pekerjaan ke luar negeri meninggalkan anak-anak yang dititipkan di famili lain.
Sedangkan perkawinan anak selain menciptakan ancaman kemiskinan juga ancaman kesehatan.
Adalah Desiani Sutra Dewi, warga Desa Selebung yang mengaku melakukan pernikahan di usia 16 tahun. Resiko yang dialami, anak pertama lahir dalam usia kandungan 6 bulan dan kemudian meninggal dunia. Anak kedua pun lahir kurang dari usia kandungan 9 bulan.
Ia mengakui kondisi perekonomian sangat sulit selama menjalani masa berumah tangga di usia muda. Satu unit rumah baru bisa dibangun ketika usia perkawinannya sudah menginjak 15 tahun. Itupun dilakukan dengan penuh perjuangan. Karena itu, istri Kepala Desa Selebung ini mengajak masyarakat menunda perkawiman dengan terlebih dahulu merencanakan segala sesuatu, baik kematangan mental maupun material.
Membangun Layanan Terintegrasi
Upaya menyikapi kerentanan anak menghadapi tantangan cukup berat, terlebih keberadaan mereka di pedesaan yang jauh. Kasus perkawinan anak, misalnya, acap kali berada di ruang-ruang “rahasia” yang tidak setiap orang mengetahuinya dan tentu saja dilakukan secara siri.
Bahkan seorang kepala desa acap kali tidak mengetahuinya sehingga sulit menemukan angka yang valid dalam kasus ini. Walaupun pemerintahan desa sudah memiliki perdes pencegahan perkawinan anak, ketika salah satu pelakunya berasal dari desa berbeda yang tidak memiliki regulasi yang sama, perkawinan anak masih mungkin terjadi.
Pencegahan di bagian hulu sambil membangun kekuatan pada bagian hilirnya menjadi hal penting. Karena itulah LPA bersama Pemkab setempat menggagas Gawe Desa layanan terintegrasi pencegahan perkawinan anak.
Gawe Desa merupakan model layanan kepada warga rentan secara multi sektor yang dilakukan di desa. Seluruh OPD layanan pemerintah yang dibutuhkaan dikerahkan dalam satu desa untuk memberikan pelbagai layanan hak-hak dasar seperti akta kelahiran maupun KTP, BPJS, layanan pendidikan, suplai makanan bergizi, bantuan sosial dan sosialisasi pencegahan perkawinan anak.
Kegiatan yang diselenggarakan di Desa Selebung dan Desa Bangket Parak beberapa waktu lalu, membuat warga datang berduyun-duyun melengkapi berbagai kebutuhannya. Warga sangat antusias melakukan pemenuhan hak-hak yang yang selama ini terabaikan.
Sebutlah layanan administrasi kependudukan berupa 70 KTP elektronik untuk remaja, bantuan sembako, alat bantu untuk 10 disabilitas, pelayanan makanan tambahan kepada 106 anak stunting, layanan KB termasuk konsultasi remaja dan sosialisasi pencegahan perkawinan anak.
Langkah kolaboratif pemerintah bersama stakeholder ini menjadi salah satu solusi bagi anak rentan, termasuk bagi lansia yang juga kena imbas Gawe Desa. Efesiensi waktu dan tenaga dihemat karena dalam sehari berbagai pemenuhan hak anak terpenuhi. Anak yang drop out sekolah misalnya, diberi ruang untuk bersekolah kembali melalui pos layanan pendidikan.
Wakil Bupati Lombok Tengah, Dr. Nursiah, memandang layanan ini sangat efektif dalam mengatasi kerentanan yang berdampak kompleka. Karena itu, kerja kolaboratif antara OPD layanan dan stakeholder lain bisa menjadi modal dalam mengatasi kerentanan.
“Saya sangat mendukung kegiatan ini dan berharap seluruh desa di Lombok Tengah bisa melakukan Gawe Desa, ” katanya. riyanto rabbah