DUTA SELAPARANG — Keterlibatan Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI) di Kabupaten Lombok Utara (KLU) dan Lombok Barat selama lima tahun melakukan pendampingan menghasilkan beberapa perubahan penting terkait pencegahan perkawinan anak. Atas inisiasinya, sebanyak empat desa telah memiliki Perdes tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak, terbentuknya Komunitas Peduli Perempuan dan Anak Desa (KPPAD), Forum Anak Desa (FAD), Gugus Tugas Desa Layak Anak (GTDLA). Komunitas dan regulasi di tingkat desa inilah yang menjadi benteng pencegah perkawinan anak.

“Perkawinan anak bukanlah sebuah masalah, itu sudah garis jodohnya. Banyak kok orang tua kita dulu yang menikah di usia muda hidupnya aman-aman saja dan mereka bahagia sampai sekarang. Dari pada mereka melakukan zina lebih baik mereka dinikahkan”.
Ungkapan itu sering dilontarkan dan berkembang ditengah masyarakat. Pun beberapa “dalil” yang dijadikan rujukan sebagai alas an pembenar menikahkan mereka di usia anak. Kenyataan ini menjadi salah satu penyumbang tingginya angka perkawinan di usia dini di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Pemahaman masyarakat bahwa akil baliq yang ditandai menstruasi untuk perempuan dan mimpi basah untuk anak laki-laki, merupakan usia yang dinyatakan pantas untuk dinikahkan. Begitu pula pandangan yang menyatakan jika sudah menikahkan anak maka selesailah tugas sebagai orang tua.
Sebagian orang muda Sasak beranggapan bahwa adanya tradisi merarik di Lombok juga menyumbang tingginya angka perkawinan anak. Merarik adalah ritual perkawinan yang diawali dengan melarikan seorang perempuan yang akan dijadikan istri. Karena, kebiasaan melarikan ini tidak memiliki aturan tentang batas minimal usia yang boleh dilarikan maka akil baligh dijadikan rujukan.
Pemahaman agama yang minim dan kesenjangan gender serta rendahnya pemahaman tentang hak-hak perempuan menjadikan perkawinan anak menjadi problem yang kian kompleks. Sebutlah di Desa Sekotong Tengah, Kabupaten Lombok Barat.
“Mencegah serta menurunkan tingginya angka perkawinan usia anak dan kekerasan terhadap perempuan di Desa Sekotong Tengah merupakan sebuah tugas dan beban berat bagi pemerintah desa,yang membutuhkan perhatian serius dan kerjasama lintas sector,” ujar Rasid, Sekdes Sekotong Tengah.
Problem ini disikapi SANTAI-CS untuk menciptakan ruang bagi para tokoh-tokoh di desa untuk mendukung dan mempromosikan gerakan mengurangi kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menghentikan praktek perkawinan anak. Selain itu membangun jaringan kerja dengan OMS dan OPD terkait agar melahirkan perubahan yang lebih besar.
Penuh Tantangan
Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI) menjalankan program di dua desa (Taman Baru dan Sekotong Tengah) Kabupaten Lombok Barat dan di dua desa (Sigar Penjalin dan Medana) KLU sejak tahun 2017 sampai dengan sekarang. Berbagai aktivitas telah dilakukan melibatkan anak-anak, kelompok muda, perempuan, aparatur desa, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, guru, organisasi masyarakat sipil, OPD, dan akademisi.
Proses diawali dengan melakukan pemetaan sosial; menemukan aktor-aktor kunci yang ada di desa serta melakukan pendekatan kepada pemerintah desa. Kemudian mulai melakukan penyamaan pemahaman, cara pandang tentang isu anak dan perempuan, pun kekerasan terhadap mereka serta isu perkawinan anak.
Setelah itu, melakukan pengorganisasi, penguatan kapasitas melalui pelatihan dan lokakakarya, pendampingan dan asistensi pada kelompok anak, pemuda dan perempuan. Membangun diskusi-diskusi intens dengan tokoh-tokoh kunci yang ada di tingkat desa serta membangun jaringan kerja melalui lobi dan koordinasi dengan pemerintah kecamatan, kabupaten dan provinsi.
Memperkuat gerakan menjadi lebih massif dilakukan melalui kerja-kerja kolaborasi bersama jaringan LSM yang selama ini menjadi mitra SANTAI dalam melakukan advokasi di tingkat kabupaten dan provinsi.
Banyak problem yang ditemukan ketika berproses bersama, bahkan di lingkungan aparatur desa yang cenderung menyembunyikan masalah dengan mengatakan, “tidak ada kasus perkawinan anak di sini, dan biasanya LSM itu suka mencari-cari-masalah”.
Dalih-dalih itu tidak lepas dari kekhawatiran aparatur desa terhadap ancaman beberapa warga masyarakat yang mendorong perkawinan anak terjadi. Hal ini biasanya terjadi jika muncul kasus-kasus dilarikannya si anak gadis oleh pihak laki-laki yang kemudian tiba pada kesimpulan “mengharuskan” terjadinya perkawinan.
Biasanya orang tua perempuan yang bersikeras anaknya dinikahkan tanpa mau mendengarkan saran, nasihat terkait dampak-dampak buruk perkawinan anak dengan alasan aib bagi keluarga serta mendapatkan teror dan stigma buruk dari masyarakat.
Beberapa kasus perkawinan anak yang ditemukan sebagian besar akibat kelalaian orang tua dalam pengasuhan. Hal ini disebabkan orang tua yang terpaksa mencari nafkah ke luar negeri, perceraian orang tua, minimnya pengetahuan tentang pola asuh, serta rendahnya pendidikan sebagian orang tua yang berdampak pada perilaku anak akibat tidak optimalnya pengasuhan kedua orang tua kandungnya.
Melalui proses-proses pembelajaran bersama, kini pemerintah desa, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemuda, perempuan dan anak justru menjadi aktor terdepan yang terus menyosialisasikan dan terlibat langsung melakukan pencegahan dan penanganan kasus perkawinan anak.
Pada akhirnya aparatur desa turut serta memompakan semangat untuk memulai era baru pencegahan perkawinan anak. Ketika masyarakat tidak menerima, tetap saja aparat memberikan pemahaman tentang dampak negatif perkawinan anak.
Mengambil contoh sosialisasi tentang keluarga berencana (KB) dimasa lalu, sebagian besar masyarakat menolak. Sekarang justru masyarakat mau membayar untuk melakukan KB.
Perubahan yang Terjadi
Untuk melakukan perubahan, SANTAI-CS membangun pemahaman, komitmen dan kerja nyata bersama pemerintah desa guna melahirkan kebijakan berupa peraturan desa (Perdes) tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak dan Advokasi Anggaran Dana Desa untuk kegiatan pemberdayaan dan perlindungan anak.
Upaya itu biasanya berproses selama 1 tahun melalui penjajakan awal tentang isu-isu dan point-point penting apa saja yang perlu ada dalam Perdes, menyepakati tim drafting, penyusunan draft, dan pertemuan-pertemuan dengan pemangku kepentingan di tingkat desa sampai pada uji publik dan penetapan Perdes.
Dalam proses yang cukup panjang itu mengemuka berbagai dinamika; saling mempertahankan pendapat. Kadang ada yang menolak dan pesimis dengan lahirnya Perdes. Kenyataannya, sebanyak empat desa sepakat menerbitkan Perdes tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak, membentuk Komunitas Peduli Perempuan dan Anak Desa (KPPAD), Forum Anak Desa (FAD), Gugus Tugas Desa Layak Anak (GTDLA) yang ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) Kepala Desa.
Implikasi lahirnya Perdes, pemerintah desa menunjukkan aksi nyata dengan mengalokasikan anggaran Dana Desa untuk kegiatan penyuluhan, sosialisasi, penguatan kapasitas Forum Anak Desa dan KPPAD, dan kegiatan lainnya dalam upaya perlindungan anak.
Langkah yang menarik adalah terjadi di Desa Sekotong Tengah. Untuk menuju Desa Layak Anak, desa tersebut melakukan berbagai macam program dengan mengalokasikan 30 % Dana Desa (DD) untuk bidang kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Termasuk alokasi anggaran untuk pembuatan taman bermain anak serta anggaran kegiatan Forum Anak Desa dan KPPAD.
Melalui kerja keras dan kerja nyata, angka perkawinan usia anak di desa Sekotong Tengah mengalami penurunan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun.
Sosialisasi dilakukan oleh KPPAD dan FAD dengan melibatkan aparatur desa sebagai salah satu strategi dalam rangka meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat tentang pentingnya melakukan perlindungan terhadap anak dari kekerasan dan pernikahan anak walau tak jarang mendapatkan penolakan dan sikap acuh tak acuh dari masyarakat.
“Kami melakukan sosialisasi ke dusun-dusun dengan melibatkan pak Kadus untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, orang tua dan juga anak. Secara perlahan masyarakat di desa kami, sudah mulai faham tentang dampak perkawinan anak. Karena kesadaran masyarakat mulai meningkat, ini berdampak pada menurunnya angka perkawinan anak di desa kami,” aku Jafar, salah seorang anggota KPPAD sekaligus anggota BPD di Desa Sekotong Tengah.
Berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan oleh KPPAD di masing-masing desa, terjadi penurunan angka perkawinan anak dari tahun 2017 sampai dengan 2020 yang cukup signifikan
Keterlibatan berbagai pihak dalam “mengeroyok” program pencegahan perkawinan anak membuat berbagai kasus berhasil ditekan. Pada tahun 2020 sebanyak 8 kasus perkawinan anak berhasil digagalkan oleh oleh Pemdes, toga, tomas, KPPAD, Forum Anak Desa yang tersebar di Desa Medana (sebanyak dua pasangan), Desa Taman Baru (sebanyak dua pasangan), dan Desa Sekotong Tengah (sebanyak empat pasangan).
Perkawinan anak tidak lagi dianggap sebagai sebuah “kewajaran” tetapi sudah menjadi permasalahan yang harus diselesaikan bersama. Dampaknya, saat ini pemerintah desa di wilayah kerja CS-SANTAI mulai tertib mencatat kasus perkawinan anak yang sebelumnya seringkali diabaikan dan tidak jarang ditutup-tutupi
“Saya bergabung bersama teman SANTAI dari tahun 2017 mulai dari sosialisasi sampai peningkatan kapasitas kader, saya sering dilibatkan sampai sekarang. Adapun saat ini saya sudah berani mendampingi kasus anak sampai tuntas, terlibat aktif di desa,” tutur Feby, Ketua KPPAD Sekotong Tengah.
Geliat yang dilakukan oleh KPPAD, FAD dan pemangku kepentingan yang ada ditingkat desa dalam proses pembelasan kasus perkawinan anak, merupakan sebuah perubahan fundamental karena kelompok anak muda bisa membaur dengan tokoh-tokoh lainnya untuk secara bersama-sama melakukan penanganan kasus. Pemandanganan tersebut merupakan hal baru ketika anak muda bersama para tokoh saling bahu membahu dan duduk bersama menyelesaikan persoalan ini.
Menurut Fina, salah seorang pengurus Forum Anak Desa Taman Baru, terdapat kasus perkawinan anak yang bisa cepat diselesaikan dan terkadang mendapatkan kasus yang begitu rumit. Penyebabnya adalah adanya perdebatan antar keluarga sehingga membutuhkan waktu yang agak lama.
“Tetapi saya bahagia bisa terlibat dan membantu teman-teman saya untuk tidak menikah dan sekarang beberapa teman perempuan saya melanjutkan sekolahnya di pondok pesantren,” tutur Fina seraya berharap kedepan tidak ada lagi pernikahan diusia anak.
Pemahaman Pentingnya Buku Nikah
SANTAI membangun pula kerjasama dengan Pengadilan Agama Giri Menang untuk menyosialisasikan penyadaran hukum pentingnya buku nikah serta program isbat nikah bagi pasangan yang menikah diusia anak. Tidak sedikit mereka yang sudah memasuki usia dewasa akan tetapi belum memiliki legal identity.
Kerjasama dilakukan pula dengan pihak Dukcapil Lombok Barat yang dituangkan dalam bentuk MoU untuk percepatan pelayanan adminduk (KTP, KK, Akta kelahiran). Dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB), Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial juga telah terbangun koordinasi dan sinergi dalam menjalankan program di dua kabupaten tersebut.
Hal yang menarik dari SANTAI adalah strategi yang digunakan dengan mengangkat kearifan lokal masyarakat. Dalam hal ini, merarik yang seringkali bertabrakan dengan konteks lokal dengan isu yang dibawa. SANTAI mampu menemukan celah itu, justru dengan mengangkat nilai merarik karena nilai yang terkandung didalamnya tidak mengajarkan untuk perkawinan anak.
Berbagi pembelajaran dan kerja kolaborasi antar jaringan juga telah melahirkan kebijakan berupa Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 09 tahun 2019 tentang Pendewasaan Usia Perkawinan dan ditingkat Provinsi NTB Perda Nomor 05 tahun 2021 tentang pencegahan perkawinan anak.
Pendekatan utama yang menjadi strategi yakni perubahan perilaku dari para aktor kunci di tingkat desa. Memperkuat kemampuan anak, kelompok muda, kelompok perempuan, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan pemerintahan desa dalam penggunaan pengetahuan yang inovatif dan sistem yang akuntabel untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan serta menghentikan praktek perkawinan anak.
Merekalah yang akan menjadi agen perubahan di lingkungan masing-masing dalam menciptakan ruang untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menghentikan praktek perkawinan anak,
Hal yang jauh lebih penting adalah membangun pemahaman masyarakat dan kesadaran bersama bahwa sudah saatnya bahu membahu menyelamatkan generasi bangsa dari praktek perkawinan anak.
Deklarasi Kades se Lombok Utara Warnai Launching Nol Perkawinan Anak